Rabu, 14 November 2018

KOMPOSISI BEETHOVEN: :MOONLIGHT SONATA


KOMPOSISI BEETHOVEN
            :MOONLIGHT SONATA

Sebagian cerita maha duka dari lirih tempo alunan piano,
adalah komposisi purna menyayat perasaan kehilangan
keindahan musim semi di Vienna, bunga melayu di mataku.

Malam ini bulan tidak bulat purnama bersama sonata
bergulir bagai drama dalam partitur Una Fantasia
dengan tempo adagio, mengelus-elus pendengaran.

Imajinasiku melambung jauh ke pintu peradaban
klasik dalam concerto berirama haru, lalu melambat
seperti bunga-bunga kematian, aku disergap kesedihan.

Jarak di antara dua belas pinus di tepi danau Lucerne,
di hutan empat musim dalam melodi rumit, membawa
kaki berlari dari kejaran hari-hari tanpa jeda. Bukankah
hidup adalah detak detik bergerak, wujud setiap rencana?

Tapi segalanya memang harus berakhir ketika layar
ditutup. Aku tersadar dari sihir partitur klasik  pemuja
seni yang mengembara di udara beraroma rindu.
Sebuah kisah terbakar api, tapi puisi-puisiku tetap abadi.

2017-2018



KOMPOSISI VIVALDI
            :FOUR  SEASONS

Empat musim berganti dalam concerto
bunga-bunga, daun-daun gugur, salju,
hujan dan rupa perasaan menandai satu
demi satu perubahan partitur cuaca.

Harum  pinus menguar di udara usai
hujan, saat perjanjian dengan langit
membuka jalan mendaki, kadang
menurun, berirama cepat, atau lambat.

Sedang aku berjalan buka tabir demi tabir
dalam irama allegro. Tanganku bergetar
menyusun kolase kota-kota yang terjamah
oleh empat musim. Segalanya tampak seperti

remaja yang setia pada mimpi-mimpi asmara.
Sementara perjalanan di bawah bulan muram
tak dapat mendustai kenyataan tentang hawa
pegunungan yang seolah kaupuitiskan.
Padahal keluh kesah dan air mata menjadi

kehilangan daya, bagi kepalamu yang membatu.
Lalu aku terbang bagai trance, mengikuti
suara angin dan simfoni di telingaku
mencarimu yang tak pernah ada!

2018



KOMPOSISI BEETHOVEN
            ;FUR ELISE


Dua ekor angsa bermain di tepi kolam air mancur.
Ekornya putih berkibas-kibas melepas air ke udara
bersama lanskap daun-daun musim gugur sewarna senja.

Di atas piano, partitur menyaji nada-nada haru
not demi not, simbol romantisme sepasang kekasih
kasmaran, terpisah oleh ruang dan perjalanan anak anak zaman

Dicekam nada-nada di telinga, aku mengatup sepasang mata
untuk kenangan tentang surat-surat merah jambu yang kusam
dalam kalender masa kanak-kanak saat darah pertama mengalir.

2018









KOMPOSISI  TCHAIKOVSKY
            :WALTZ

Berpasang-pasang kekasih berdansa dalam rumah Kristal.
Irama waltz  bersama derap ketukan sepatu di malam pejal
Tchaikovsky mengatur melodi dalam partitur cinta sejati.

Siapa ingin berhenti dari menyelami bunyi klasik,
sedang ungu lavender dan lanskap daun maple
telah mencipta siluet kenangan di pelataran sore.

Sepasang kekasih enggan melepas waktu dan segala
ketiadaan bagi setiap kemungkinan terburuk
Langit menurunkan angin lembut membelai pipi
di pucuk harap sebelum Kristal kenangan menguap.

2018




EINE KLEINE NACHT MUSIC
            ;MOZART

Malam memang selalu mencemaskan bagi kamar
kesunyian. Padahal kemerdekaan perasaan tidak
lahir dari ambisi penaklukan bagi kesepian yang
meraja. Nacht Music menggiring perasaan murung.

Bahkan urutan partitur di udara mengalun abadi
dalam bahasa surga, angan-angan para pengembara.
Serupa arus darah yang berkejaran di antara jalan
peristiwa yang menyemburkan cahaya dari lubang kepala

Abadi dalam pengulangan perayaan demi perayaan,
yang melampaui batas jarak dan waktu. Irama kerinduan
membius syaraf pada notasi rendah dan tinggi hingga
segala yang fana mesti berakhir.

2018



Dimuat di Basabasi.co puisi 24 Juli 2018








Rabu, 03 Oktober 2018

BULAN PECAH



BULAN PECAH


Alangkah tebal tanda seru
untuk perasaan sebal
saat bulan tidak lagi utuh,
sedang dadaku butuh
kemurnian jalan wirid
;kembali pada Hyang

Pohon nyiur di Timur berkibas,
masa silam tenggelam, bertunas,
bunga kesadaran merebak.

Para pandita berlayar
melanjutkan doa-doa,
barangkali kita sanggup
melupa duka dan air mata negeri

padahal kertap pada atap dadamu
kerap berderap lebih mencekam
serupa bulan pecah
belingsatan
bertaburan
di laut.


Minggu, 02 Oktober 2016

Penari Tayub, Tarian Jiwa dan Menuju Sunyi


Menuju Sunyi


Sebelum angin menghempas ombak ke pantai
Di tempat rindu pernah bersemai, hujan rinai
Engkau menatap senja di lepas laut
Bersama sepenuh perasaan pantang surut

Perahu terombang ambing oleh harapan
getar doa memecah karang, ada yang luruh
dari dada, hangatnya membias bola mata
Keindahan itu mendiami ingatan di kepalaku

Sementara sebuah kapal telah membawaku
berlayar menuju dunia sunyi,  dalam kecupan
rahasia, teka teki musim pelayaran dalam mimpi
yang tak pernah terungkap di peta peradaban

2016



Rindu Betara

Sekokoh karang, tajam ombak menembus ingatan
Saat buihnya mendaras namamu, berdeburan
di jantung laut,  manja pada hangat pelukan

Segala berwajah engkau di liuk gelombang
Langit mengerjap di mataku, rinduku malang
Hingga teja matahari di Barat, rupa udara
bikin mabuk padamu, duhai betara
;kujelang  asmara sewangi daun bidara


2016

Tarian Jiwa

Tak ada pelangi berpendar di mataku
Sedang gemuruh ombak penuhi dada
Aku hilang tiang, percakapan melayang
Layar terkoyak, sampan tenggelam
Tubuhku mawar kering, menyelam
             ; karam di palung rahasia
Diam diam angin membawa risalah
Tentang  kenangan bulan basah
Aku hilang sinar, jantung berdebar
lubang luka membiru dalam dada
diam diam disentuh kabut semilir
Kulihat Engkau kembali, tersenyum samar
membawa ronce melati dan mawar
Pada lautan maaf, angin menuliskan kata,
mata membaca makna.
            ; padamu, kulihat jiwaku menari

2014


Penari Tayub

Senja itu lampu taman bercahaya benderang
pesta belum usai, seorang tayub melambai
Sepasang kaki indah melantai, suara gending
terdengar begitu magis, sedang cuaca gerimis

selendang hijau berayun-ayun, mengundang lelaki
jatuh birahi, sambil menggigil di tebing neraka
Oh, dia tak tahu dada penari sekarat ‘nganga luka

purnama tergelincir di selokan musim penghujan
angin malam nyasar bertiup hasrat mabuk rayuan
Kembang di sanggul rontok, air matanya beku
tangisnya nyaris terkunci oleh bibir kepedihan

Kini suara gending hanya sayup di telinga
terdengar lebih perih dari cuka menyiram luka

Jati Asih, 2014


Ironi Sepi

Aku melihat pusat keramaian beraroma kesepian
Nafas leluhur yang terbungkus masa lalu,
terkunci oleh perjalanan waktu.
Nyala lilin dan mantra tak mampu membuatku
berlari dari angan angan
burung burung bernyanyi,  pepohonan menari
Sungai sungai mengalir dari mata air matamu

Berpagar jarak aku sembunyi dari kecemasan
demi kecemasan, perjalanan ke masa depan
Anjing-anjing sembahyang, suara alam bertasbih
Sedang kusaksikan punggungku memanggul gunung,
kakiku tenggelam di genang anggur. Seribu ciumku
untuk dahan dahan patah di musim pengharapan.
Anak anak bermain kecapi, lalu bulan pun
Padam genapi sepi, suara rintih kudengar
samar dari kedalaman pucat dada
lebih pilu dari duka kematian

2015


Dimuat di Koran Merapi, Jogyakarta 12 Agustus 2016


Kamis, 15 September 2016

Telapak Kaki Ibu

Cerpen Weni Suryandari

IBU sudah pergi. Kamarnya kosong, dapur pun sepi. Darah kental menggenangi lantai semen, merembesi keset di depan kamar mandi. Suasana senyap mengepungku. Agaknya seekor burung gagak raksasa telah puas bermain-main di rongga kepalaku semalaman. Pagi ini kepalaku terasa bolong. Entah ke mana burung itu pergi! Mungkin membawa aroma kematian yang mampir saat dini hari tadi ketika sepasang telapak kaki ibuku yang halus dan indah ada dalam genggamanku. Guratan-guratannya begitu jelas, namun aku
tak menemukan ada surga di sana.

Rasa penasaran kerap menggerogoti pikiranku sejak aku masih kecil. Saat itu usiaku masih terlalu kanak-kanak untuk dapat memahami misteri surga di bawah telapak kaki Ibu. Telapak kaki ibuku jelas sangat halus dan terawat karena selalu menggunakan krim pelembab kulit kaki. Jika aku mengamati kaki ibu-ibu lainnya, yang kulihat hanyalah kulit tebal dengan tekstur pecah-pecah, bahkan bentuk kuku-kukunya berantakan seakan angslup kedalam jemari, namun tidak demikian halnya dengan kaki ibuku. Kuku-kukunya bersih dan indah, bahkan ia sering ke salon di kecamatan hanya untuk merawat kuku kaki. Tentu mahal sekali tarifnya!

Kuberitahu saja padamu, kawan! Ibuku cantik, kulitnya bersih, matanya indah, bibirnya mungil, hidungnya bangir. Keriput di pipinya tak begitu kelihatan meski usianya hampir mencapai separuh abad. Aku sangat mengagumi kecantikan ibuku. Beliau bagai bidadari dalam dongeng-dongeng bergambar dari luar negeri. Jika tersenyum, lesung pipitnya seakan terpasang dari surga. Aku mencemburuinya! Bagiku, ibuku sainganku, atau aku saingan ibuku. Begitulah, dibolak-balik sama saja. Nanti kau akan tahu juga, kawan!

Aku masih ingat ketika Bapak hendak menolongku dari serangan pukulan Ibu yang bertubi-tubi di kedua betis dan punggungku hingga membiru. Seringkali bilur-bilur merah terlihat jelas bekas sabetan sapu lidi. Aku menahan isak di pojok ruang makan, menggigil ketakutan sebagai bocah polos yang tak berdaya.

Bapak membentak Ibu sambil menyeretku menjauh, menghindarinya. Sebenarnya ada Bapak atau tidak ada Bapak, siksaan tetap saja menderaku. Apalagi jika Bapak kembali bekerja di Hongkong sebagai supir TKI, aku dan Ibu hanya berdua saja di rumah yang sederhana itu. Siksaan dan makian adalah selingan makan tiga kali sehari.

Sesudah meluapkan emosinya, biasanya Ibu kelelahan dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Wajahnya memerah, matanya lebih merah lagi. Tapi herannya, ia pantang menangis. Seakan puas setelah menyiksaku, meskipun belum benar-benar jelas apa kesalahanku. Pernah aku tak sengaja menumpahkan segelas coklat panas yang akan diminumnya, kejadian itu sangat membuatnya marah besar. Bukankah mudah baginya untuk membuatnya lagi? Ia bisa menyuruhku membuatkannya. Padahal masih ada satu dus susu coklat lagi di dapur.

“Anak tidak tahu diuntung! Kamu tahu? Pemberian siapa susu coklat ini? Kalau ibu membeli sendiri tak akan mampu. Apalagi bapakmu yang tidak berguna itu! Memberi anaknya makan saja tidak becus!” begitu bentaknya sambil memukuliku. Ia tak peduli apakah Bapak mendengar umpatannya.

“Ampun Bu, aku tidak sengaja. Tadi kan…,” belum sempat aku menjawab, Ibu sudah akan mengangkat sapu ijuk untuk memukulku.
“Jangan membantah! Kamu memang tidak becus apa-apa! Tidak berguna! Setan!”
“Aku bukan anak setan Bu! Aku anak Ibu!” isakku sambil mengelus-elus kepalaku.

Ah, rasanya aku ini memang benar-benar anak setan, anak anjing atau anak haram seperti yang selalu diserapahi Ibuku. Mungkin benar apa yang dikatakannya. Tapi aku tetap harus mendarma-baktikan seluruh hidupku untuknya, bukan? Begitu petuah guru Agama di sekolahku.

“Uh, kalau saja dulu Bapakmu tidak menikahi perempuan itu, tentu kau tak akan dilahirkan!”  Aku diam menahan gemetar, sambil bertanya-tanya maksud perkataannya.

Setiap pulang sekolah, aku selalu melihat ibuku baru selesai berdandan. Rapi dan wangi! Biasanya ia akan segera keluar rumah. Pergi menemui pelanggan, katanya. Mereka pelanggan dagangan Ibu. Aku tak tahu Ibu berdagang apa, sebab aku tak pernah melihat Ibu membawa sekeranjang barang seperti umumnya pedagang. Ah, mungkin Ibu punya sepetak toko di suatu tempat. Jika aku bertanya, ia akan membentak, “Kau tak perlu ikut campur!”

Ibu selalu pulang lewat tengah malam dengan wajah kusut. Tubuhnya beraroma campur-campur. Bukan bau parfum atau bau badannya. Bau yang tidak aku kenal. Entah bau apa aku tak terlalu mengendusnya, sebab Ibu akan langsung menuju kamarnya dan tertidur pulas. Aku hanya mengintip dan membuang sisa susu coklat kegemarannya yang kubuatkan. Percuma, sudah dingin. Jika didiamkan sampai besok pagi pastilah basi.

“Zainab, mau kemana malam-malam?” tanya Ibu sore itu. Ia melihatku keluar kamar hendak menonton sebuah film yang diputar di lapangan depan kantor Kepala Desa. Ibu agak terlambat pergi ke tokonya.
“Mau ke lapangan Bu. Ada pertunjukan film, hiburan gratis dari Pak Kades.”
“Ganti bajumu! Jangan memakai baju itu.”
“Kenapa Bu? Ini baju kiriman Bapak dari Hongkong. Kaos bagus Bu!”
“Ganti!!! Pakai ini!” Ibu meletakkan kaos loreng abu-abu di kursi ruang tamu. Kaos yang biasanya kupakai untuk tidur atau beres-beres rumah.
“Bu, ini baju rumah, baju tidur, sudah kumal pula!”
“Ah, ganti kataku! Baju biasa saja, tak perlu pakai baju bagus. Kamu genit ya???”

Aku tak heran. Setiap saat Ibu selalu mengatur penampilanku, dengan alasan tak boleh tampak genit. Padahal di masa remajaku aku ingin tampil gaya. Aku ingin seperti teman-teman, sebab aku juga bukan keluarga tak mampu. Rumahku, meski sederhana tapi tergolong cukup besar. Bapak selalu mengirimi kami uang atau oleh-oleh baju meskipun kadang-kadang dipakai Ibu.
Sepulang dari lapangan, aku diantar oleh laki-laki yang kuakui sebagai pacarku. Setidaknya begitulah menurutku, sebab kami berdua terbilang dekat. Apalagi ia pernah menciumku di suatu malam sepulang pesta ulang tahun Surtini anak kepala desa.

Saat itu Ibu belum pulang dari tokonya. Pardi, demikian namanya, duduk sebentar menunggu kedatangan Ibu.

“Ibu baru pulang berdagang nanti malam…” Pardi diam. Ia menangkup rapatkan kesepuluh jemarinya dan menggeretakkannya. Jari-jarinya terlihat kokoh dan besar.
“Berdagang? Sampai larut malam? Di mana tokonya?”
“Entahlah. Dagangan Ibu banyak. Hampir setiap hari Ibu pergi ke tokonya.“
“Sampai larut malam begini belum pulang dari toko?” Aku tersenyum kecut.
“Kamu tentu bangga sebagai anaknya! Ibumu pekerja keras,” lanjutnya.
Anaknya? Tapi aku diperlakukan bukan seperti anaknya.
“Aku tak pernah diajaknya, Mas. Aku harus membereskan rumah setiap pulang sekolah. Kasihan Ibu, terlalu capek mencari uang. Kalau rumah berantakan ia akan marah-marah.”
“Bapakmu?”
“Oh. Bapakku bekerja di Hongkong, TKI.”
“Oh…,” Pardi menatapku tajam. Kepalaku berdenyut penuh keraguan terhadap ihtikad baik Pardi. Untuk bersikap kurang ajar kepadaku, rasanya tak mungkin.

Pardi Sunta adalah seorang pemuda tampan. Tubuhnya atletis, berkulit bersih. Ia rajin menjemputku sepulang sekolah. Rumahnya hanya berjarak lima petak sawah dari rumahku. Sekolahnya terletak lebih jauh dari sekolahku, jika berangkat atau pulang ia pasti akan melewati sekolahku. Kadang-kadang ia menungguku di pintu gerbang sekolah. Ia sengaja mengajakku pulang bersama-sama.

Suara jengkrik dan rerimbunan pohon tertiup angin menggigilkan senyap yang semakin malam semakin mencekam. Aku tak tahu harus berkata apa pada lelaki ini.

“Zainab, kamu anak tunggal?“ ucapnya membuka pembicaraan.
“Iya Mas. Kata Ibu aku pernah punya kakak, tapi meninggal dalam kandungan.”
“Oh,“ ia terdiam. Matanya menerawang, sebentar-sebentar ia menatap arlojinya.
“Apa ibumu tidak marah jika aku bertandang ke sini, Nab?”
“Biasanya marah, Mas. Ibu tak senang aku bergaul dengan laki-laki, Ibu terlalu sayang padaku,” sahutku gugup.
“Kalau begitu aku pulang saja ya?A ku tak mau kamu ada masalah dengan ibumu.“
“Terima kasih Mas,“ antara lega dan menyesal aku mengucapkan kata itu.
Terdengar suara selop Ibu yang diseret, membuka pintu pagar. Rasanya hari belum terlalu larut, tetapi mengapa Ibu sudah pulang?
“Naaab! Zainab! Ada tamu? Tamu Ibu?” terdengar suaranya yang serak.

Aku tersentak, tahu ibuku akan sangat marah! Bisa-bisa aku ditamparnya di depan Pardi, lalu menjambak rambutku dan mengusirku dari ruang depan agar segera ke dapur, dengan cacian yang lebih sadis dari biasanya. Sudah tiga kali aku mengalami kejadian serupa. Dulu Sudiono, teman SD-ku, lalu Fransiskus, siswa SMP Katolik di kota, lalu Pambudi, tetanggaku di dusun sebelah. Oh, jangan terjadi lagi yang keempat! Palu besar mengetuk-ngetuk rongga dadaku keras sekali!

Segera kubukakan pintu dengan jantung seakan mau copot!
Wajah Ibu tersembul penuh senyuman. Baru kali ini kulihat Ibu tersenyum. Meski pun senyum itu bukan untukku. Oh, betapa cantiknya! Pardi berdiri hendak menyalami Ibu. Ibu tampak ramah, memasang senyumnya tanpa melepaskan genggaman jabat tangan Pardi. Ibu menatapnya tak berkedip. Palu di dadaku berhenti mengetuk. Kini dadaku menyemburkan api. Aku tahu arti tatapan Ibu!

“Hm, siapa namamu anak muda?”
“Pardi, Bu. Saya sekolah di SMA dekat sekolah Zainab.”
“Oh. Dekat sekolah Zainab? Sudah lama di sini? Ayo, silakan duduk. Maaf, Ibu ke belakang dulu ya?”

Pardi tersenyum, aku tersenyum, sementara api di dadaku meletup-letup, tubuhku melunglai.

Ibu berlalu dari hadapan kami. Gerakan tubuh Ibu yang gemulai meninggalkan aroma macam-macam. Aku tak hafal aroma itu. Entah parfum, atau minuman beralkohol, atau keringatnya yang wangi! Pardi duduk kembali dengan mimik wajah salah tingkah.
“Sstt, Zainab! Rasanya aku sering melihat ibumu di sekitar kota, dekat pasar Permai. Aku sering membuntuti Pak Imam, Pakdeku jika disuruh oleh Budeku. Ibumu hebat!”
“Pasar Permai? Mungkin toko Ibu terletak di situ...?”

Pardi meletakkan telunjuknya di bibirnya. Aku terdiam dan bingung. Ibu punya toko di dekat pasar Permai. Apa yang membuat Pardi menjadi penuh rahasia?
“Aku pamit ya. Sudah malam,“ ucapannya mengejutkanku.
“Salamku buat ibumu. Pasti beliau kenal Pak Imam, itu langganan Ibumu,” Pardi tersenyum penuh arti. Bukan sesuatu yang menarik hatiku, tetapi lebih menyerupai seringai yang membuat tubuhku kian mendidih.

Segera kututup pintu pagar. Deru motor Pardi meninggalkan kebingungan yang dahsyat di kepalaku. Ibu bekerja di Sarkem.

Sejak malam itu Pardi tak pernah lagi menjumpaiku. Hingga aku menamatkan sekolahku. Mungkin ia malu berteman denganku. Ibu juga jarang keluar rumah. Ia hanya sesekali saja ke pasar dalam sepekan. Aku pun jarang dipukulinya lagi. Ibu tampak lebih pendiam dan bermulut manis. Beberapa kali sudah kupergoki Ibu menyimpan seorang lelaki di kamarnya. Aku tahu dari tawa dan desahan mereka.

“Ah, Pardi. Terus cah bagus… terus…!”

Ah, sebatang palu besar mengetuk-ngetuk rongga kepalaku. Kujambak rambutku. Bibirku gemetar, gigiku gemeretak.[]

Januari 2011




   

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.